Relasi Manusia dan Alam dalam Perspektif Islam

Posted by Nafiatus Saputri on


Terjadinya pergeseran cara pandang manusia terhadap alam semesta mengakibatkan efek yang berkepanjangan dan fundamental (Capra, 2002: 43). Sebelum tahun 1500, alam semesta dipandang sebagai suatu yang bersifat organik, hidup, dan spiritual dengan didasarkan pada penalaran dan keimanan dengan tujuan untuk memahami makna alam semesta. Kemudian terjadi pergeseran cara pandang pada abad pertengahan dengan memaknai alam semesta sebagai sebuah mesin yang bertujuan untuk pengendalian (Capra, 2002: 44). Dengan hal ini, lahirlah revolusi ilmiah yang mana selalu menggunakan bahasa matematika dalam merumuskan hukum-hukum alam. Akibatnya adalah terjadinya pergeseran sikap ilmuwan, yang awalnya menggunakan ilmu dengan tujuan mencari kearifan, memahami tatanan alam dan kehidupan yang harmonis dengan alam, bergeser pada tujuan ilmu yang dapat digunakan untuk menguasai dan mengendalikan alam (antropologis). Salah satu bentuk upaya penguasaan alam adalah penebangan liar yang dilakukan secara eksploitatif, dimana dapat menyebabkan dampak negatif untuk manusia dan alam itu sendiri.

Posisi Manusia di Hadapan Alam

Dalam peradaban Barat, sebagian peneliti menyatakan bahwa alam ini ada dengan sendirinya, sehingga segala yang terjadi hanya fenomena alam biasa yang merepresentasikan hubungan sebab dan akibat (Muslih, 2018: 133). Alam dinilai sebagai apa yang bisa dilihat oleh indera manusia dan yang masuk akal. Implikasi dari sudut pandang ini menjadikan manusia sebagai pusat tata nilai dan moral. Alam hanyalah sebagai sarana memuaskan nafsu dan menggapai kekuasaan (Muslih, 2018: 133). Manusia dapat menggunakan alam sesuai dengan keinginannya tanpa memperdulikan akibat apabila melampaui kapasitasnya. Apapun yang terjadi setelahnya, hanyalah kejadian biasa yang tidak perlu untuk dikhawatirkan.

Seluruh alam semesta beserta isinya memang diciptakan untuk keperluan manusia. Namun perlu diingat juga bahwa Allah menciptakan alam ini agar mereka senantiasa dalam kondisi bertasbih dan memuja kepada-Nya (Muslih, 2018: 140). Ibnu Katsir dalam tafsirnya menyatakan bahwa seluruh yang ada selain diri-Nya adalah alam semesta. Manusia adalah bagian dari alam, karena manusia merupakan makhluk yang sama-sama diciptakan oleh Allah sehingga memiliki posisi yang sama dengan alam. Dengan demikian, terlihat bahwa ada keterkaitan yang sangat kuat antara manusia dengan alam semesta ini.

Penaklukan alam semesta untuk manusia mempunyai syarat dan tujuan (Muslih, 2018: 143). Alam yang besar ini tidak hanya digunakan dalam pemenuhan hawa nafsu manusia, melainkan berfungsi sebagai sarana beribadah. Dengan cara ini dimensi spiritual terdalam semua makhluk yang dimanfaatkan manusia untuk beribadah akan mendatangkan keserasian dalam tujuan dan tatanan penciptaan, bukan kekacauan. Manusia mengakui dalam hati dan pikiran atas karunia yang diterima dari Allah, dengan memujinya secara verbal, dan dengan menggunakan karunia itu sesuai dengan tujuan-tujuan yang sepatutnya.

Kekacauan dan Ketidakteraturan Alam

Pada abad enam belas dan tujuh belas terjadi pergeseran sudut pandang dalam memaknai alam. Alam semesta dimaknai sebagai sesuatu yang bersifat organik, hidup, dan spiritual bergeser memandang alam sebagai sebuah mesin (Capra, 2002: 44). Galileo memadukan percobaan ilmiah dengan menggunakan bahasa matematika untuk merumuskan hukum-hukum alam yang ditemukannya (Capra, 2002: 45). Tujuan ilmu berubah menjadi pengetahuan yang dapat digunakan untuk menguasai dan mengendalikan alam. Alam harus diburu dalam pengembaraannya, diikat dalam pelayanan, dan dijadikan budak. Alam harus dimasukkan dalam kerangkeng dan diambil rahasianya secara paksa (Capra, 2002: 47).

Kondisi ini diperparah dengan pandangan khas dualistik Barat yang tidak melihat alam sebagai entitas dengan keseimbangan, reaksi, sinergi, sekaligus keterbatasan dalam hidup manusia melainkan semata sebagai mesin yang dipekerjakan terus-menerus (ecological versus mechanistic). Aset-aset ekologi yang dikonversi sebagai aset ekonomi menjadi lebih mudah untuk diperjual belikan, sehingga dinilai justru mempercepat tingkat eksploitasi dan bukan konservasi. Krisis dan bencana alam disebabkan oleh kesalahan paradigma antroposentrisme yang memandang manusia sebagai pusat dari segala sesuatu, sebaliknya alam semesta tidak mempunyai nilai intrinsik pada dirinya sendiri selain nilai instrumental ekonomis bagi kepentingan ekonomi manusia. Paradigma ini yang melahirkan perilaku eksploitatif eksesif yang merusak alam sebagai komoditas ekonomi dan pemuas kepentingan manusia (Keraf, 2014: 8).


Sikap materialistik, pragmatis dan positivistic hingga berujung pada eksploitasi alam merupakan dampak yang sistematis dari revolusi industri. Dampak lingkungan yang ditimbulkan dari revolusi industri meliputi pencemaran air, tanah dan udara. Pencemaran udara disebabkan oleh limbah gas berupa asap buangan pabrik, kendaraan bermotor yang mengandung gas hidrokarbon (HC), oksida belerang (Sox), karbon monoksida (CO), bahan pendingin klorofluorokarbon (CFC), oksida nitrogen (NOx), dan material partikulat (debu, abu). Pencemaran tanah diakibatkan oleh limbah padat berupa sampah rumah tangga, pasar, industri, kegiatan pertanian dan peternakan. Pencemaran air disebabkan oleh limbah pertanian, limbah industri dan limbah rumah tangga (Krisnanto, 2013: 118). Sehingga, untuk mengatasi permasalahan tersebut perlu dilakukan penanganan serius, khususnya dalam mindset dan cara pandang (worldview) terhadap revolusi industri 4.0.

Khalifatullah, Taskhir dan Prinsip Penjagaan Lingkungan 
Secara bahasa, kata khalīfah merupakan derivasi dari khalafa-yakhlifu yang artinya mengganti dengan yang baru ( الخلف ضدّ القدّام) atau bisa juga diartikan tertinggal di belakang (صَارَ خَلْفَه). Bentuk plural (jama’) dari khalifah adalah khalāif atau khulafā. Sedangkan secara istilah, Raghib al-Asfahani memberi konotasi khalifah sebagai niyabah atau penggantian terhadap yang lainnya. Sebabnya beragam; bisa karena yang diganti itu tidak ada, bisa juga karena sudah meninggal, tidak lagi mampu dan kuasa atau bahkan sebagai bentuk penghormatan kepada yang mengganti. Terkait konotasi terakhir inilah manusia menjadi khalīfah, karena Allah memberi perintah agar para wali-Nya mengurus bumi sebagai wakil dari diri-Nya sendiri. Pendapat yang sama juga dikatakan Ibn Manzhur dalam Lisānul ‘Arab. Yang juga mendefinisikan khalīfah sebagai “Sesuatu yang menggantikan pelaksana sebelumnya”.

Setidaknya dua definisi di atas menitikberatkan pada penggantian. Berarti ada yang diganti. Pertanyaannya, siapakah yang diganti oleh manusia untuk mengurus bumi? Menurut Asy-Sya’rawi manusia sebagai pengganti bisa berarti menggantikan pada jenis makhluk lain, atau bisa juga menggantikan pada jenis yang sama. Yang pertama merujuk pada Adam A.S yang menggantikan penghuni bumi sebelumnya sedang yang kedua bermakna manusia menggantikan yang lainnya untuk mengurus bumi karena keterbatasan usia. Pergantian ini, terus berlaku sampai hari kiamat.

Manusia berusaha menyatukan diri dengan alam dengan merenungkannya dan tidak menjadikannya wilayah yang terpisah dari realitas melainkan sebuah cermin yang memantulkan realitas yang lebih tinggi. Alam merupakan simbol yang berbicara kepada manusia dan menjelaskan makna kepadanya. Pembacaan simbol alam ini penting bagi manusia untuk menjalankan perannya sebagai khalifatullah yang memiliki tanggung jawab atas kelestarian alam semesta. Tugas kekhalifahan yang dimaksud bukan seperti hubungan antara penakluk dengan yang ditaklukkan, atau seorang tuan dengan hamba, melainkan suatu hubungan kebersamaan dalam ketundukan kepada Allah. Konsekuensinya sebagai seorang khalifah (wakil Tuhan) yang diberi tugas-tugas, manusia harus hidup sesuai dengan penugasan yang dikehendaki Sang Pemberi Tugas.

Demi menunaikan tugas tersebut manusia dibekali potensi berupa akal untuk menampakkan rahasia penciptaan, sehingga dengannya manusia bisa menundukkan bumi (taskhir) dan mengeksplorasi apapun yang ada di dalamnya. Meski begitu Allah juga memberikan hukum-hukum (syariat) yang menjadi acuan aktivitas dan akhlak manusia agar tidak melampaui batas dan mencapai kesempurnaan eksistensinya sebagai khalifah. Dalam konteks penguasaan alam, manusia bukanlah pemilik alam melainkan pihak yang dipercaya (amin) untuk mengolahnya. Konsep amanah (kepercayaan) ini menjadi poin kunci yang membedakan sistem bisnis Islam dimana sumber daya alam tidak bisa dilihat sebagai kepemilikan pribadi (private property) untuk digunakan sesuai keinginan manusia melainkan dengan batasan syariat. Penjagaan atas alam pun merupakan amanah yang sudah disanggupi oleh manusia sendiri sehingga wajib baginya untuk melaksanakan dan tidak berkhianat sebagai seorang beriman.

Kesimpulan
Manusia dan alam merupakan ciptaan Allah yang memiliki keterkaitan sangat erat. Meskipun penciptaan alam untuk memenuhi kebutuhan manusia, alam bukan hanya sebagai objek yang dapat dimanfaatkan manusia, melainkan juga sebagai sesuatu yang bersifat organik, hidup, dan spiritual. Artinya, manusia tidak bisa semena-mena mengeksploitasinya sesuai dengan kehendaknya. Jika tetap dilakukan, maka konsekuensinya adalah terjadi bencana alam yang dapat merugikan manusia itu sendiri. Manusia dan alam mempunyai fungsi masing-masing sesuai ketetapan Allah, sehingga jangan sampai saling melampaui dari fungsi tersebut agar tetap terjaga keteraturan dan keselarasan di alam semesta ini.

DAFTAR PUSTAKA
Capra, F. (2002). Titik Balik Peradaban: Sains, Masyarakat dan Kebangkitan Kebudayaan. Jogjakarta: Bentang Budaya.
Keraf, S. (2014). Filsafat Lingkungan Hidup: Alam sebagai Sistem Kehidupan Bersama Fritjof Capra. Yogyakarta: PT KANISIUS.
Muslih, M. K. (2018). Worldview Islam: Pembahasan tentang Konsep-Konsep Penting dalam Islam. Ponorogo: Universitas Darussalam (UNIDA) Gontor Press.
Philip Kristanto. 2013, Ekologi Industri, Yogyakarta: Penerbit Andi.
Syed Muhammad Naquib Al-Attas. (2001). Risalah untuk kaum muslimin. Kuala Lumpur Istac.